Posted by DKT NEWS | Berita Nasional on Wednesday, July 30, 2014
INILAHCOM, Jakarta - Sudah menjadi langganan, usai Hari Raya
Idul Fitri, Ibu Kota Jakarta menjadi sasaran kedatangan warga daerah
lain. Mereka meyakini Jakarta adalah tempat yang menjanjikan untuk
mengubah nasib dari keterpurukan ekonomi.Di sisi lain,
kehadiran mereka di DKI Jakarta adalah menimbulkan problem kepadatan ibu
kota negara ini dan masalah-masalah lainnya seperti kriminalitas.
Masalah
urbanisasi Jakarta sejak lama terjadi. Hingga kini pemerintah belum
berhasil mengatasinya. Entah karena pemerintah tidak memiliki kemampuan
atau kemauan, sehingga kondisi tersebut terkesan dibiarkan
berlarut-larut.
Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km, dengan
penduduk berjumlah 10.187.595 jiwa. Jumlah ini belum termasuk dengan
warga di Bodetabek yang setiap hari mencari nafkah di Jakarta yang
ditaksir dua juta jiwa.
Dengan segala problematikanya, Jakarta
sering dikeluhkan sebagai kota yang sumpek. Bukan hanya karena kepadatan
penduduknya, iklimnya pun sudah penuh dengan polusi akibat banyaknya
kendaraan. Melihat kenyataan setiap hari, lalu lintas Ibu Kota Jakarta
sangat krodit alias semrawut. Lalu lintas tak beraturan, karena
hilangnya ketertiban masyarakat. Sementara penegakan hukum dirasakan
sangat lemah.
Situasi tersebut menambah citra negatif Jakarta
sebagai ibu kota negara. Wacana untuk memindahkan ibu kota negara ke
daerah lain sering bermunculan, tapi tak lebih dari sekadar wacana.
Jakarta tetap saja menjadi ibu kota yang dikenal dengan kamacetan lalu
lintas dan langganan banjir.
Sebentar lagi Indonesia akan
memiliki presiden dan wakil presiden baru. Jika tidak ada arah
melintang, Joko Widodo dan Jusuf Kalla akan dilantik sebagai presiden
dan wakil presiden periode 2014-2019 pada 20 Oktober mendatang. Akankah
keduanya menaruh kepedulian terhadap masalah urbanisasi tersebut dan
andil dalam mengatasi probelamatika Jakarta?
Setidaknya ada
harapan dari Jokowi manakala ia nanti menjadi presiden. Sebab, masih
lekat dalam ingatan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pernah menegaskan
besarnya arus urbanisasi karena tidak meratanya pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah pusat memiliki wewenang penuh untuk mengatasi masasalah ini.
"Yang
benar pemerataan pembangunan di daerah, mendorong investasi, tidak
hanya di Jakarta. Tapi itu urusan pemerintah pusat, bukan urusan saya,"
tuturnya suatu ketika.
Sejak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
dipimpin Jokowi, operasi yustisi kependudukan pada 2013 dihapuskan.
Awalnya publik kaget dengan kebijakan ini karena sejatinya operasi
yustisi bisa menghalau warga lain untuk datang ke Jakarta. Pemprov DKI
Jakarta justru menggantinya dengan operasi pembinaan kependudukan.
Sejauh ini belum diketahui apakah operasi pembinaan kependudukan
berjalan efektif.
"Dari awal kan sudah sosialisasi keluarga,
jangan bawa anggotanya lagi ke Jakarta. Mudah-mudahan itu bisa
mengatasinya," tutur Jokowi.
Dia mengaku tidak bermaksud
menjadikan Kota Jakarta sebagai kota tertutup. Namun, mengingat
banyaknya kaum urban, Jokowi hanya bisa menyampaikan pesan agar warga
pendatang yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan keterampilan khusus
untuk tidak mengadu nasib di Jakarta.
"Enggak bisa dong (melarang
warga datang ke Jakarta). Itu hak ekonomi mereka, masak Jakarta mau
kita pagerin, digembok, ya enggak mungkin," tandasnya.
Untuk itu,
Jokowi berharap pemerintah pusat dapat menumbuhkan iklim ekonomi yang
baik di daerah lain. Dengan demikian, warga tak perlu berjudi nasib di
kota lain.
Pernyataan Jokowi ini tentu akan menjadi pegangan
publik ketika nanti ia memimpin pemerintah pusat. Akankah ucapan Jokowi
terhadap masalah urbanisasi sekadar omong belaka. Kita tunggu aksi
nyatanya dalam pemerataan pembangunan di daerah setelah dia menjadi
Presiden RI ke-7 nanti. [yeh]
Sumber inilah.com http://nasional.inilah.com/read/detail/2123792/menanti-jokowi-atasi-urbanisasi-jakarta#.U9nG2UDCdlY