Posted by DKT NEWS | Berita Nasional on Friday, July 25, 2014
PEKANBARU - Bencana kebakaran hutan dan lahan kembali
melanda Riau. Dampaknya selama berbulan-bulan kabut asap akan
melingkupi. Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Maret 2014
terjun ke Riau untuk mengambil komando dan dengan tegas menyatakan
bencana asap tak boleh terulang lagi, daerah harus serius menangani.
Bahkan SBY saat itu memerintahkan Kapolri Jendral Sutarman untuk
mencopot kapolsek, kapolres dan kapolda di Riau jika tidak becus
menangani kebakaran diwilayahnya. Perintah pencopotan juga diberikan
pada Panglima TNI Jendral Moeldoko untuk para danramil, dandim dan
danrem. Begitu juga dengan lurah, camat bupati dan gubernur juga diberi
peringatan keras untuk bertanggung jawab daerah masing-masing menangani
kebakaran. Lalu kenapa kebakaran hutan dan lahan masih saja terus
terjadi?
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjelaskan bahwa kebakaran
hutan di Riau kembali terjadi karena murni kesengajaan yang dilakukan
oleh manusia. Faktornya adalah ekonomi. Dimana dengan cara membakar
untuk membuka lahan pada musim kering tentu akan efesien baik dana
maunpun waktu. Para pemilik lahan biasa mengupah orang suruhan dengan
Rp500.000 hingga Rp 750.000.
"Ada juga pembakaran yang dilakukan secara terorganisir dalam bentuk
koperasi untuk membuka areal kemudian mereka memberika upah. Informasi
yang saya dapat, saat ini hal itu dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit
untuk biaya murah. Ini dilakukan dengan memanfaatkan konflik penguasa
adat dan pemerintah," kata Kepala Informasi Bagian Data dan Humas BNPB
Sutopo Purwo Nugroho kepada
Okezone.
"Dan umumnya perusahaan tidak ada yang mengakui membuka areal dengan
cara membakar. Dan jika ada, perusahaan selalu beralasan minimmnya
peralatan untuk pemadaman sehingga kebakaran terus terjadi," imbuhnya.
Saat ini ditemukan banyak kasus juga bahwa pelaku melakukan aksi bakar
juga dilakukan jauh dari pemukiman. Ini dimaksudakan agar tidak
diketahui pihak berwenang.
"Modusnya, usai membakar lahan langsung ditinggal begitu saja sehingga
api melebar kemana-mana. Setelah itu, biasanya akan dilakukan kerjasama
antara bantin (tokoh adat) dengan lurah untuk mengeluarkan surat untuk
lahan yang dibakar kelompok-kelompok dengan minimal perolehan lahan 2
hektar padahal status itu kebanyakan masih areal hutan," imbuhnya.
Atas hal ini, pemerintah daerah diminta harus serius menanganinya.
"Pemda harus mengetahui dan segara mengambil langkah kongkrit agar
masalah ini tidak terulang. Dan aparat penegak hukum juga harus
bertindak tegas," tukasnya.
(Sumber : okezone.com ; jumat 25 July 2014)