Posted by DKT NEWS | Berita Nasional on Thursday, July 31, 2014
HISTORIA.CO.ID - Ancaman tak
menggoyahkan seorang perempuan Tionghoa yang tinggal di Batavia untuk
terus melawan perdagangan perempuan.
SUATU
malam di Batavia pada 1930-an. Seorang perempuan Tionghoa, yang
sebelumnya mendapat surat kaleng, bergegas menuju sebuah hotel di Kota.
Tujuannya: mencari si pengirim surat, seorang perempuan tanpa identitas
yang butuh pertolongan segera. Tiba di hotel, dia menemukan sebuah tong
yang bergoyang. Dia buka. Isinya seorang gadis berusia sekira 14 tahun;
si pengirim surat. Gadis itu baru datang dari Tiongkok, tak mengerti
bahasa Melayu, dan akan dijadikan pelacur.
Dia langsung menolongnya, membawa gadis
malang itu ke panti asuhannya. Dari gadis Tiongkok itu, dia mendapat
banyak informasi mengenai cara kerja para pedagang manusia (human trafficking).
Aktivisme semacam itu kerap dilakukan Auw
Tjoei Lan, yang lebih dikenal sebagai Nyonya Lie Tjian Tjoen. Dia lahir
pada 17 Februari 1889 di Majalengka. Ayahnya, Auw Seng Hoe, adalah
seorang pengusaha sekaligus Kapitan Tionghoa, yang memiliki kebun tebu
dan pabrik gula. Kapitan Auw peduli kemanusiaan. Dia melakukan sejumlah
kegiatan amal; menolong para gelandangan, tunanetra, dan tunawisma
dengan menyediakan makanan dan tempat tinggal. Jiwa filantropi ayahnya
menurun pada diri Auw Tjoei Lan.
Auw Tjoei Lan menekuni upaya
pemberantasan perdagangan perempuan setelah menikah dengan Lie Tjian
Tjoen, anak Mayor Tionghoa Lie Tjoe Hong, dan pindah ke Batavia. Dia
tinggal di rumah mertua yang terletak di tengah kota, di Jalan Pintu
Besar. Dia tak betah, tak biasa hidup di tengah kondisi hiruk-pikuk.
Tapi kekecewaan itu tak bertahan lama. Melalui perantaraan pendeta Van
Walsum, dia bertemu dr Zigman, bekas gurunya yang mengajar bahasa dan
kebudayaan Belanda. Zigman mengajaknya ikut mengurus Ati Soetji,
organisasi bentukan dr Zigman dan beberapa kawannya seperti Van
Hindeloopen dan Soetan Temanggoeng. Organisasi ini menampung
perempuan-perempuan yang terpaksa melacurkan diri karena kesulitan
ekonomi dan yang didatangkan dari daratan Tiongkok lalu dijual dan
dipaksa jadi pelacur di rumah-rumah bordil.
Dia sangat berdedikasi. Dia tak takut
keluar malam sendirian, demi menyelamatkan perempuan yang butuh
pertolongan. Gadis-gadis asal Tiongkok itu rata-rata masih belia,
berusia belasan tahun. Tak jarang dia menghadapi bahaya yang mengancam
jiwanya. Ancaman itu terutama datang dari para batauw (mucikari), yang merasa bisnisnya terancam.
Pernah suatu ketika seorang batauw mencekiknya lantaran tak terima dengan upayanya membebaskan gadis yang akan dijadikan pelacur. Centeng, yang jadi kaki tangan batauw, pernah mengancam akan membunuhnya. Pemerasan oleh batauw pernah pula terjadi. Tapi dia tak goyah.
Perdagangan perempuan sudah marak kala
itu. Awalnya perempuan-perempuan itu dijual untuk dipekerjakan sebagai
pembantu. Lama-lama mereka dijual untuk dijadikan pelacur. Mereka
umumnya didatangkan dari daerah-daerah di Tiongkok yang miskin, terutama
dari Amoy dan Macau –dikenal dengan istilah macaopo. Jumlahnya
meningkat ketika terjadi malaise pada 1930-an. Ditambah lagi Malaya
memperketat perdagangan perempuan asal Tiongkok. “Hampir semua penduduk
Tionghoa sudah tahu, bahwa di Batavia orang bisa pesan Macaopo atau sing-song girls, sebab saban malam mereka mondar-mandir deleman atawa auto di Pantjoran,” tulis Keng Po, 8 Mei 1939. “Dagang ‘madat’ lebih susah daripada ‘dagang daging manusia’.”
Selain Ati Soetji, Perikatan
Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI) –sebuah organisasi hasil
bentukan Kongres Perempoean Indonesia Pertama di Yogyakarta, 22-24
Desember 1928– ikut bergerak. Dalam kongresnya tahun 1932, masalah itu
menjadi salah satu fokus bahasan. PPPI lalu membentuk Perkoempoelan
Pemberantasan Perdagangan Perempoean dan Anak dan mendirikan asrama
perempuan sebagai tempat berlindung bagi perempuan "terlantar" dan
mengembangkan kreasi perempuan. Organisasi lainnya: Madjoe-Kamoelian, Po
Leung Kuk, Indo-Europeesch-Verbond Vrouwen Organisatie, dan Comite
Pembrantasan Perdagangan Anak-anak. Partai-partai juga terlibat dalam
upaya memberantas perdagangan manusia dan prostitusi, misalnya Sarekat
Islam.
“Isu tentang trafficking in women and children merupakan entry point bagi gerakan perempuan dalam melawan kolonialisme,” tulis Saskia Eleonora Wierengga dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.
Pada Februari 1937, Liga Bangsa-Bangsa,
yang sudah lebih sepuluh tahun absen menggelar konferensi perdagangan
perempuan, kembali membahas isu ini dalam konferensi di Bandung. Auw
Tjoei Lan hadir mewakili Indonesia. Dia bicara dengan berangkat dari
pengalaman pribadinya. Dia mengusulkan agar, “perempuan-perempuan diberi
pendidikan khusus, agar dapat dipekerjakan sebagai reserse perempuan,”
tulis Myra. Tujuannya, “untuk memberikan rehabilitasi kepada
perempuan-perempuan ini agar dapat mengubah nasibnya.” Dia juga usul,
“agar pemasukkan perempuan-perempuan itu diberantas, paling tidak
dikurangi.”
Praktik ini sulit diberantas. Malahan
setelah pendudukan Jepang atas China, jumlahnya terus meningkat. Mereka
masuk ke Hindia Belanda, sekalipun ada pengawasan ketat, lantaran ada
kongkalikong antara pedagang, polisi, dan pejabat imigrasi serta tak ada
penindakan tegas terhadap mereka. “Pejabat imigrasi dan lain-lain
instansi yang bersangkutan bekerja sama untuk memasukkan mereka, dan
sebelum dipekerjakan mereka dipakai oleh pejabat-pejabat terlebih
dahulu,” tulis Myra Sidharta dalam “Nyonya Lie Tjian Tjoen Seorang
Perempuan Yang Peduli” yang dimuat dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard.
Perjuangan Auw Tjoei Lan yang tanpa henti
menarik perhatian banyak pihak. Polisi sering menggunakan jasanya.
Banyak media perempuan seperti majalah
Istri dan
Fu Len memujinya. Bahkan pemerintah Belanda menganugerahinya bintang
Ridder in de Orde van Oranje Nassau
Sumber https://id.berita.yahoo.com/auw-tjoei-lan,-musuh-para-045759464.html